Senin, 28 Maret 2022

Merenungi Sebuah Pengembaraan

dokumen pribadi

Judul Buku: Syekh Maulana Ishaq
Penulis: Wawan Susetya
Penerbit: DIVA Press
Cetakan Pertama
Februari 2011

...

Langit berwarna jingga kemerahan di ufuk barat. Semburat pancaran cahaya matahari yang tak lama lagi akan tenggelam di balik pegunungan nun jauh di sana, yang sebagian cahayanya menatap mega dan mendung-mendung.

Keindahan cahaya matahari pada sore hari seperti itu, terutama ketika akan terbenam, disadari atau tidak akan membawa pada suasana perenungan spiritual yang amat mendalam. Siapa pun orangnya, apa pun agamanya, dari mana pun asal negaranya, apa pun suku bangsanya, apa pun warna kulitnya, apa pun bahasanya, bagaimanapun keadaan kelas ekonominya dan seterusnya, jika melihat keindahan sang mentari pada sore hari dengan keadaan hati yang jujur, tentu akan menyadari bahwa keindahan itu berasal dari Tuhan Yang Maha Indah. Tak bisa disangkal bahwa kekuasaan Tuhan meliputi segala sesuatu, termasuk menciptakan suasana keindahan pemandangan pada sore hari seperti itu.

Meski manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia sehingga Sang Khalilullah Ibrahim As. pernah menyatakan bahwa dirinya manusia yang paling besar—sehingga merasa lebih besar dari pada patung-patung atau berhala-berhala yang dijadikan sesembahan di zaman kepemimpinan Raja Namrud—namun begitu melihat kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, tentu hati menjadi ciut karenanya.

Kesombongan adalah kebodohan yang tak terkira, sedang manusia diciptakan dari air hina dan hanya menguasai ilmu bagaikan sepercik air yang terjatuh dari paruh seekor burung yang hendak mengambil air minum di samudra, padahal seluruh air samudra yang luas itu ibarat ilmu kekuasaan Tuhan.

———

Sang mentari telah benar-benar tenggelam di ufuk barat. Perlahan-lahan, benda bulat seperti tampah itu meninggalkan sore. Hari berubah menjadi malam. Suasana telah berubah. Cahaya matahari yang semula menerangi jagat telah sirna.

Syekh Maulana Ishaq masih merenungkan fenomena cahaya matahari lalu dikontekstualkan ke arena spiritual. Sedikit banyak, cahaya matahari memang memiliki kesamaan dengan cahaya hati orang telah makrifat kepada Allah. Substansi cahaya adalah menerangi. Kedua cahaya itu memiliki kesamaan dalam memberi penerangan 

Jika matahari menerangi jagat raya pada siang hari, maka cahaya hati menerangi pemiliknya secara spiritual. Orang yang mendapatkan pencerahan hati mengisyaratkan ia telah menerima cahaya Allah sehingga dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Bedanya, jika matahari tenggelam pada sore hari, cahaya Allah tak pernah dapat ditenggelamkan. Ia akan senantiasa ada di hati orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada-Nya.

Berbicara mengenai cahaya matahari, rembulan, dan bintang, tiba-tiba dia teringat pada ujaran Syekh Ibnu Atha'illah asy-Syakandari dalam kitab al-Hikam yang mengkontekstualkan ke dalam arena spiritual dengan memberikan istilah matahari tauhid, bulan makrifat, dan bintang ilmu. Dalam hal ini, Syekh Ibmu Atha'illah mengaitkan bahwa cahaya matahari identik dengan ketauhidan, cahaya rembulan identik dengan kemakrifatan, sedang cahaya bintang identik dengan kedalaman ilmu agama.

Cahaya matahari identik dengan tauhid karena sangat terang dan kuat sehingga diidentikkan dengan perspektif tauhid, menomorsatukan Allah SWT. Cahaya rembulan identik dengan kemakrifatan lantaran memantulkan cahaya matahari kepada bumi. Rembulan hanya meminjam cahaya matahari lalu meneruskannya pada bumi. Begitu pula dengan manusia yang sebenarnya tidak memiliki cahaya tanpa memperoleh pancaran cahaya Tuhan.

Cahaya bintang identik dengan ilmu pengetahuan karena posisinya berada di langit sehingga orang yang berilmu menempati posisi yang terpuji di sisi Tuhan.

Sah-sah saja pengibaratan demikian karena akan mendatangkan manfaat bagi manusia. Meski demikian, hati seorang mukmin yang sempurna keimanan dan ketakwaannya serta telah menggapai makrifat yang sejati, lebih sempurna dari pada ketiganya.

...

0 comments:

Posting Komentar